Demokrasi Bangsa Indonesia
Setelah
saya mengkaji dan menganalisis buku “Demokrasi". Saya mengambil
kesimpulan bahwa para pengamat atau pakar hukum terlalu formallegalistik sering
kali merasa kecewa karena dalam kenyataannya apa yang tertulis sebagai hukum
sering kali kalah oleh keputusan-keputusan politik.
Di
sini saya berpikir bahwa hukum kemudian dijadikan instrumen untuk memberi
pembenaran formal atas keinginan-keinginan politik penguasa. Tepatnya hukum
seringkali diintervensi oleh kekuasaan politik. Itulah yang terjadi di
INDONESIA, terutama di Orde Lama dan Orde Baru.
Ini
merupakan pemaparan yang sangat lugas betapa tuntutan konstitusi seringkali
ditorpedo oleh kekuasaan politik. Di dalamnya digambarkan tolak tarik hubungan
antara demokrasi dan konstitusi yang senantiasa berubah sesuai dengan perubahan
politik. Perlu adanya penawaran nuansa pendekatan baru dalam setudi-setudi ilmu
hukum agar tidak terlalu konvensional. Meraka yang belajar hukum dengan
menggunakan pendekatan konvensional (sekedar mendalami dan memahami pasal-pasal
UU) akan merasa kecewa dan pasti tidak berpijak di atas realitas.
Meliaht realita yang ada demokrasi dan
konstitusi sekarang ini sudah mulai diabaikan. Banyak penyimpangan yang
dilakukan pimpinan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancaasila dan UU.
Yang paling mudah kita lihat dengan mata telanjang yaitu mengenai sila yang ke
empat masalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat. Nilai kerakyatan yang
terkandung dalam Pancasila, sekarang ini sering disalah persepsikan oleh
masyarakat pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.
Padahal
kenyataan demokrasi telah tertanam pada rakyat Nusantara sejak dulu. Seperti
dalam kehidupan kelompok-kelompok masyarakat yang disebut “kaum” atau anag
(Bugis) atau marga (Batak) yang anggota-anggotanya terikat satu sama lain oleh
hubungan kekerabatan yang ketat. Secara perorangan warga kaum adalah merdeka
dan wajib menghormati, malahan melindungi kemerdekaan sesama warganya. Tiap
warga-warga kaum dianggap mempunyai hak dan kedudukan yang sama, sdangkan
kepala kaum (pemerintah) tidak mempunyai klebihan hak atas warga lainnya.
Kemerdekaan,
persamaan dan persaudaraan meskipun tak pernah dirumuskan merupakan dasar-dasar
pokok kelangsungan kaum itu dan menjadi tabiaat dasar dari kerakyatan dalam
persekutuan kaum pada masyarakat Nusantara. Dalam masyarakat kaum ini tidak
terdapat tingkatan-tingkatan yang berdasarkan keturunan yang membedakan
seseorng dari orang lainnya, dan ini menjadi corak kerakyatan dalam kehidupan
masyarakat kaum zaman purba Nusantara.
Indonesia
yang terlihat oleh masarakat sekarang ini adalah sebuah pemerintahan yang belum
sempurna memenuhi kreteria tiga tolak ukur suatu pemerintah yang demokratis.
Tiga tolak ukur tersebut yaitu, :pemerintahan dari rakyat (geovernmen of the people), pemerintahan oleh rakyat (geovernment by the people) dan
pemerintahan untuk rakyat (geovernmen for
the people). Di dinilah yang masyarakat sering gembor-gemborkan atas nama
demokrasi menuntut sebuah perubahan yang bisa mengsejahterakan rakyat
Indonesia. Namun di sisi lain tak jarang dijumpai segelintir seseorng yang
memanfaatkan sebuah kepemimpinan dalam melakukan tindakan yang bisa dikatakan
tidak seharusnya dilakukan karena tidak sesuai dengan apa yang masyarakat
inginkan. Sebuah janji belaka yang tak juga ditepati oleh seorng pemimpin yang
membuat masyarakat geram.
Di
dalam konstitusi juga arti demokrasi tidaklah seperti yang telah ditetapkan
oleh aturan UUD negara Indonesia. Konstitusi yang seharusnya tikak memihak
kepada seseorng yang jelas bersalah sekarang malah menjadi sebuah lembaga yang
tidak karuan tatanan hukumnya. Yang seperti inilah yang membuat makna demokrasi
semakin diabaikan oleh orang-orang yang berjabatan tinggi.
Dari
kasus-kasus buruk yang sudah terlihat di negri ini, perlu adanya nuansa baru
atau sebuah tawaran dan pendekatan baru dalam sutudi-setudi ilmu hukum agar
sebuah tatanan naegara yang sudah ditetapkan
sejak dulu selalu diikuti dan tidak dilanggar.